Monday 29 December 2014

Catatan Legalisasi Ganja



Kita mungkin pernah mendengar tentang legalisasi ganja, ada yang pro, ada juga yang kontra. Di beberapa negara legalisasi ganja sudah dilegalkan untuk kebutuhan medis bahkan di beberapa negara seperti Alaska dan negara bagian Amerika Serikat Oregon ganja legal untuk dikonsumsi bebas.

California menjadi Negara bagian Amerika Serikat pertama yang melegalkan ganja untuk keperluan medis pada tahun 1996 kemudian diikuti oleh 22 negara lainnya. Dampak ekonomi yang dapat dihasilkan dari pelegalan ganja ini bisa mencapai 35 milyar dollar US di 2020

Manfaat ganja dalam kebutuhan medis
Produsen obat yang memanfaatkan ganja sebagai bahan obat adalah GW Pharmaceuticals. Produsen ini telah menemukan lebih dari lima lusin cannabinoids (obat-obatan dengan ektrak daun ganja) dan mengembangkan beberapa terapi klinis untuk melawan nyeri kanker pada orang dewasa, terapi pada anak yang mengalami gejala epilepsi, dan bahkan bisa mengobati jenis diabetes 2 dengan memanfaatkan ganja untuk keperluan medis.

Pasien kanker dan mereka yang menderita sakit kronis telah mengalami manfaat dari ganja medis selama bertahun-tahun. Dan baru-baru ini catatan medis menunjukkan abstrak kemungkinan bahwa ganja bisa meningkatkan atau memperpanjang kehidupan penderita diabetes melitus tipe 2 dan orang-orang dengan kanker otak.

Namun dari pemanfaatan ganja untuk kebutuhan medis yang dilakukan oleh GW Pharmaceuticals ternyata hanya baru satu terapi yang disetujui di pasar luar negeri (Sativex). Karena manfaat jangka panjang dari terapi tersebut kurang mapam membuat penjualan pun dinilai masih kurang baik, saham ganja akan tetap menjadi proposisi yang sangat berisiko.

Efek ganja
Pelegalan ganja tentunya dapat disalahgunakan oleh banyak orang. Berdasarkan catatan studi yang diterima oleh Prosiding National Academy of Sciences pada bulan Agustus 2014, bahwa ganja apalagi rokok ganja dapat memiliki efek buruk pada perkembangan otak dalam jangka panjang pada remaja.

Studi tersebut didapat dari perbandingan 48 pengguna ganja antara usia 14 dan 30 (rata-rata usia 18) terhadap 62 non-pemakai. Pengujian melibatkan scan MRI untuk setiap individu, analisis urin rutin, dan tes IQ.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengguna ganja memiliki IQ rata-rata 5 poin lebih rendah dibandingkan kelompok non-pemakai. Selain itu, MRI menunjukkan bahwa pengguna ganja regular (untuk dijadikan rokok) memiliki materi lebih abu-abu di korteks orbitofrontal (wilayah otak yang bertanggung jawab untuk pengambilan keputusan dan motivasi), artinya remaja tersebut memiliki implikasi kognitif negatif untuk jangka panjang.